1. Pengertian kebijakan pendidikan.
a. Pengertian kebijakan
Kebijakan (policy) seringkali disamakan dengan istilah seperti politik, program, keputusan, undang-undang, aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis.[1]
Sebenarnya dengan adanya definisi yang sama dikalangan pembuat kebijakan, ahli kebijakan, dan masyarakat yang mengetahui tentang hal tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah yang kaku. Namun, untuk lebih memperjelasnya bagi semua orang yang akan berkaitan dengan kebijakan, maka alangkah baiknya definisi policy haruslah dipahamkan Berikut adalah definisi kebijakan.
Ø United Nations (1975) :Suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas –aktivitas tertentu atau suatu rencana(Wahab, 1990).
Ø James E. Anderson (1978) :perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Wahab, 1990).
Ø Prof. Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt :a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those who make it and those who abide by it (Jones, 1997).
Masih banyak kesalahan pemahaman maupun kesalahan konsepsi tentang kebijakan. Beberapa orang menyebut policy dalam sebutan ”kebijaksanaan”, yang maknanya sangat berbeda dengan kebijakan. Istilah kebijaksanaan adalah kearifan yang dimiliki oleh seseorang, organisasi.
Contoh kebijakan adalah: (1) Undang-Undang, (2) Peraturan Pemerintah, (3) Keppres, (4) Kepmen, (5) Perda, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yang dicontohkan di sini adalah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh obyek kebijakan. Contoh di atas juga memberi pengetahuan pada kita semua bahwa ruang lingkup kebijakan dapat bersifat makro, meso, dan mikro.
Analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, menerapkan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan substansi kebijakan. Proses analisis kebijakan terdiri atas tiga tahap utama yang saling terkait, yang secara bersama-sama membentuk siklus aktivitas yang komplek dan tidak linear.
b. Pengertian pendidikan.
Pengertian Pendidikan
· proses menggali dan mengasah potensi diri.
· Progam atau aktifitas yang harus diikuti peserta didik.
· Proses kerjasama dan saling membantu antara pendidik dan peserta didik untuk membelajarkan diri.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan merupakan suatu konsep yang masih sangat abstrak,dan hanya dapat dipahami melalui kajian-kajian yang bersifat teoritis.Dalam merumuskan konsep pendidikan,pada umumnya menggunakan sudut pandang yang berbeda.Sebagian ahli telah merumuskan definisi pendidikan yang berlandaskan pada filsafat pragmatism dan juga yang bersumber pada sudut pandang filsafat idealisme.[2]
Ø Dari bahasa yunani pendidikan berasal dari kata paedagogi yang memiliki makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar oleh seorang pelayan
Ø Dari bahasa romawi pendidikan berasal dari kata educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam
Ø Dari bahasa inggris to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual
Ø Pendidikan dalam arti luas:
· Pendidikan adalah hidup
· Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hidup
· Pendidikan adalah segala penglaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup
Ø Pendidikan dalam arti sempit:
· Pendidikan adalah sekolah
· Pendidikan adalah berlangsung dalam lingkungan pendidikan
Ø Secara umum pendidikan berarti:
Ä Usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan
Ä Bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa(Dewasa yang dimaksud adalah dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri secara biologis,paedagogis,dan sosiologis)
Ä Usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok oran lain agar menjadi fdewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.[3]
Ø Pengertian pendidikan menurut para ahli:
o Langeveld
» Pendidikan sebagai setiap usaha,pengaruh perlindungan dan bantuan yang diberikan pada anak ttuju pada pendewasaan anak itu atau membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri
o John dewey
» Memberi batasan pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan-kecakapan kea rah alam dan sesame manusia
o J.J.Rousseau
» Pendidikan memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak akan tetapi diperlukan pada masa dewasa
o Ki Hajar Dewantara
» Pendidikan di artikan sebagai tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak
o UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menegaskan bahwa:
» Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilannya diperlukan oleh dirinya,masyarakat,bangsa dan Negara.
Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.
c. Kebijakan pendidikan
Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui pernyatan-pernyataan berikut ini.
Educational policy is judgment, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within institutionalized adecation as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives.[4]
Pengertian pernyataan di atas adalah, bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan bisa dicapai.
Hal menarik lainnya dapat disimak dalam sebuah konstitusi Jepang, yakni Undang-Undang Pendidikan yang ditetapkan pada Tahun 1947. Pokok-pokok undang-undang tersebut adalah i) Prinsip Legalisme, ii) Prinsip Administrasi yang Demokratis, iii) Prinsip Netralitas, iv) Prinsip Penyesuaian dan Penetapan Kondisi Pendidikan, dan v) Prinsip Desentralisasi.[5]
Prinsip yang pertama menetapkan bahwa mekanisme pengelolaan diatur dengan undang-undang dan peraturan-peraturan. Sebelum Perang Dunia II masalah pendidikan diputuskan oleh Peraturan Kekaisaran dan pendapat parlemen dan warga negara diabaikan. Namun, setelah reformasi pendidikan pasca perang urusan pendidikan diatur oleh undang-undang dan peraturan di parlemen. Prinsip kedua mengindikasikan bahwa sistem administrasi pendidikan harus dibangun berdasarkan konsensus nasional dan mencerminkan kebutuhan masyarakat dalam membuat formulasi kebijakan pendidikan dan prosesnya. Prinsip ketiga menjamin bahwa kewenangan pendidikan harus independen dan tidak dipengaruhi dan diinterfensi oleh kekuatan politik. Prinsip keempat mengidikasikan bahwa pemegang kewenangan pusat dan lokal mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua dengan menyediakan fasilitas-fasilitas pendidikan yang cukup untuk mencapai tujuan pendidikan. Prinsip kelima menyatakan bahwa pendidikan harus dikelola berdasarkan otonomi pemerintah lokal karena pendidikan merupakan fungsi dari pemerintah lokal.
Nah, dapat disimpulakan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara moderat.
d. Kriteria kebijakan pendidikan
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni[6]:
1. Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
2. Memenuhi aspek legal-formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.
6. Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya.
e. Kebijakan pendidikan yang ada di indonesia
Pada dasarnya, bahwa kebijakan pemerintah Indonesia 2004-2009--yang memiliki orientasi basis ekonomi sesuai dengan Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005-2009 mengacu pada amanat UUD 1945, amandemen ke–4 pasal 31 tentang Pendidikan; Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas); Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggara Kementerian/Lembaga, dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.[7]
Setiap kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan akan berdampak pada pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan dalam bidang pendidikan, baik di tingkat makro (masional), tingkat messo (daerah), dan tingkat mikro (satuan pendidikan).
Masalah-masalah di Negara kita misalnya[8]:
>>Belum terealisasikan bahwa pendidikan sebagai bidang usaha yang terbuka bagi penanam modal asing(kepres no.77/2001)
>>Mindset masyarakat tentang pendidikan yang bermutu sebagai piranti filter terhadap pengaruh budaya asing belum terbentuk dengan baik
>>Belum siapnya lembaga pendidikan dan perangkatnya(guru,manajemen,kurikulum,metode,dll)
>>Mindset mutu pendidikan belum merata di kalangan penduduk indonesia . Mind set tentang mutu pendidikan internasional belum merata di kalangan lembaga pendidikan
>>Pelayanan pendidikan masih lebih mengutamakan keterjangkauan saja daripada mementingkan mutu
>>Investor asing lebih memperhatikan pada keuntungan sehingga memungkinkannya terjadi
Infiltrasi asing lebih mudah
Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)-Republik Indonesia (RI) sebagai sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membuat sebuah kebijakan paling tinggi di Indonesia tentunya sangat memperngaruhi eksistensi dan prosesi pendidikan yang diharapkan memiliki standar mutu yang layak di dalam lingkungan masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Kemudian keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden—eksekutif nomor satu yang dibantu oleh Wakil Presiden; jajaran Kementerian; dan jajaran badan/lembaga kelengkapan eksekutif negara adalah para pembuat kebijakanyang bisa mempengaruhi dunia pendidikan Indonesia.
Namun, khususnya pada tingkat makro, para pengambil keputusan khusus masalah pendidikan di tingkat DPR RI adalah Komisi X DPR RI Presiden RI, dan Menteri Pendidikan Nasional RI (pemimpin Departemen Pendidikan Nasional).Sehingga, segala bentuk kebijakan pendidikan nasional yang dihasilkan oleh ketiga elemen ini akan mempengaruhi kebijakan pendidikan di seluruh daerah dan seluruh satuan pendidikan di Indonesia.
Adapun, dengan peran pengambil kebijakan yang bisa mempengaruhi masalah pendidikan di tingkat daerah ialah DPRD dan Pemerintah Daerah (Pemda). Khususnya dalam masalah pendidikan, posisi Komisi E di DPRD dan Dinas Pendidikan di Pemda sangatlah berperan untuk memfasilitasi adanya pemberlakuan kebijakan pendidikan di tingkat daerahnya masing-masing yang didasari oleh peraturan perundang-undangan dari hasil permusyawaratan policy maker nasional.[9]
Akhirnya, keberadaan satuan pendidikan pun tak kalah pentingnya untuk membuat kebijakan pendidikan yang akan mempengaruhi fenomena pendidikan yang berlangsung di satuan pendidikannya masing-masing.
[1] http://massofa.wordpress.com/2008/11/13/kajian-ilmu-kebijakan-dan-pengertian-kebijakan/
[3] Sudirman N.,dkk.ilmu pendidikan,remaja rosda karya,Bandung,1992,hlm.4.
[5]Research and Statistic Planning Division, Ministry of Education, Science, Sports and Culture of Japan, 2000).
[6] http://ikmsatu.multiply.com/journal/item/2
[8]Indonesia education strategic plan”masalah-masalah Negara”
[9] http://ikmsatu.multiply.com/journal/item/2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar