Sabtu, 18 Desember 2010

Masyarakat n Pendidikan


1.1  Pengertian Masyarakat
Masyarakat merupakan salah satu satuan sosial sistem sosial, atau kesatuan hidup manusia. Istilah inggrisnya adalah society , sedangkan masyarakat itu sendiri berasal dari bahasa Arab Syakara yang berarti ikut serta atau partisipasi, kata Arab masyarakat berarti saling bergaul yang istilah ilmiahnya berinteraksi[1]. Ada beberapa pengertian masyarakat :
a.       Menurut (Selo Sumarjan 1974) masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan
b.      Menurut (Koentjaraningrat 1994) masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang
berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama.
c.       Menurut (Ralph Linton 1968) masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama dalam waktu yang relatif lama dan mampu membuat keteraturan dalam kehidupan bersama dan mereka menganggap sebagai satu kesatuan sosial.
Masyarakat dalam arti luas adalah keseluruhan hubungan dalam hidup bersama dan tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa dan sebagainya. Sedangkan dalam arti sempit, masyarakat adalah sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu, misalnya teritorial, bangsa, golongan dan lain sebagainya. 

1.2  Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa[2]. Definisi- definisi pendidikan diantaranya yaitu:
a.       Ki Hajar Dewantara
Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
b.      UU No. 2 Tahun 1989
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
c.       UU No. 20 Tahun 2003
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.

1.3  Masyarakat dan Pendidikan
Masyarakat tidak lepas hubungannya dengan pendidikan dan tidak boleh lepas tanggung jawab dalam memantau pendidikan generasi muda. Terjadinya dekadensi[3] moral generasi muda dalam masyarakat karena kurang pedulinya masyarakat terhadap pendidikan. Pendidikan begitu penting bagi individu dan masyarakat. Kepentingan pendidikan tidak hanya terbatas kepada suatu umat atau kaum, masyarakat tertentu atau khusus untuk suatu zaman atau masa saja, tetapi meliputi seluruh umat dan segala zaman dan termasuk umat Islam pada zaman sekarang ini. Oleh karena itu wajib bagi masyarakat Islam, pemimpin dan para ulama serta intelektual memberikan perhatian penuh terhadap kelangsungan pendidikan anak bangsa[4].  
a.    Peranan Pendidikan dalam Masyarakat
Sebagian besar masyarakat modern memandang lembaga-lembaga pendidikan sebagai peranan kunci dalam mencapai tujuan sosial. pendidikan dapat diharapkan untuk mengembangkan wawasan anak terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan secara tepat dan benar, sehingga membawa kemajuan pada individu masyarakat dan negara untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Berbicara tentang peranan pendidikan dalam masyarakat maka tidak lepas dari fungsi pendidikan dalam masyarakat. Berikut macam-macam fungsi pendidikan dalam masyarakat:
1)   Fungsi Sosialisasi
Di dalam masyarakat pra industri, generasi baru belajar mengikuti pola perilaku generasi sebelumnya tidak melalui lembaga-lembaga sekolah seperti sekarang ini. Pada masyarakat pra industri tersebut anak belajar dengan jalan mengikuti atau melibatkan diri dalam aktivitas orang-orang yang telah lebih dewasa. Anak-anak mengamati apa yang mereka lakukan, kemudian menirunya dan anak-anak belajar dengan berbuat atau melakukan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang telah dewasa. Mereka memperoleh keterampilan-keterampilan tertentu yang semuanya diperoleh lewat budaya masyarakatnya. Di dalam situasi seperti itu semua orang dewasa adalah guru, tempat di mana anak-anak meniru, mengikuti dan berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih dewasa. Segala sesuatu yang dipelajari adalah berguna dan berefek langsung bagi kehidupannya sehari-hari. Hal ini semua bisa terjadi oleh karena budaya yang berlaku di dalam masyarakat, di mana anak menjadi anggotanya, adalah bersifat stabil, tidak berubah dan waktu ke waktu, dan statis.
Dengan semakin majunya masyarakat, pola budaya menjadi lebih kompleks dan memiliki diferensiasi antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, antara yang dianut leh individu yang satu dengan individu yang lain. Dengan perkataan lain masyarakat tersebut telah mengalami perubahan-perubahan sosial. Perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya  transmisi budaya dan satu generasi ke generasi berikutnya selalu menjumpai permasalahan-permasalahan. Di dalam suatu masyarakat sekolah telah melembaga demikian kuat, maka sekolah menjadi sangat diperlukan bagi upaya menciptakan atau melahirkan nilai-nilai budaya baru (cultural reproduction). Dengan berdasarkan pada proses reproduksi budaya tersebut, upaya mendidik anak-anak untuk mencintai dan menghormati tatanan lembaga sosial dan tradisi yang sudah mapan adalah menjadi tugas dari sekolah. Anak-anak didorong, dibimbing dan diarahkan untuk mengikuti pola-pola prilaku orang-orang dewasa melalui cara-cara ritual tertentu, melalui drama, tarian, nyanyian dan sebagainya, yang semuanya itu merupakan wujud nyata dari budaya masyarakat yang berlaku. Melalui cara-cara seperti itu anak. anak dibiasakan untuk berlaku sopan terhadap orang tua, hormat dan patuh terhadap norma-norma yang berlaku.
Dalam proses belajar untuk mengikuti pola acuan bagi tatanan masyarakat yang telah mapan dan melembaga, anak-anak belajar untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai tradisional di mana institusi tradisional tersebut dibangun. Keseluruhan proses di mana anak-anak belajar mengikuti pola-pola dan nilai-nilai budaya yang berlaku tersebut dinamakan proses sosialisasi. Proses sosialisasi tersebut harus beijalan dengan wajar dan mulus oleh karena kita semua mengetahui betapa pentingnya masa-masa permulaan proses sosialisasi. Orang tua dan keluarga berharap sekolah dapat melaksanakan proses sosialisasi tersebut dengan baik. Dalam lembaga-lembaga ini guru-guru di sekolah dipandang sebagai model dan dianggap dapat mengemban amanat orang tua (keluarga dan masyarakat) agar anak-anak memahami dan kemudian mengadopsi nilai-nilai budaya masyarakatnya. Willard Waller dalam hubungan ini menganggap sekolah, terutama di daerah-daerah pedesaan sebagai museum yang menyimpan tentang nilai-nilai kebajikan (mnuseum of virture)[5]. Dengan anggapan tersebut, masyarakat menginginkan sekolah beserta staf pengajarnya harus mampu mengajarkan nilai-nilai kebajikan dari masyarakatnya (the old viture), atau keseluruhan nilai-nilai yang diyakini dan menjadi anutan dan pandangan masyarakatnya. Untuk memberikan pendidikan mengenai kedisiplinan, rasa hormat dan patuh kepada pemimpin, kemauan kerja keras, kehidupan bernegara dan kehidupan demokrasi, menghormati, nilai-nilai perjuangan bangsa, rasa keadilan dan persamaan, aturan-aturan hukum dan perundang-undangan dan sebagainya, kiranya lembaga utama yang paling berkompeten adalah lembaga pendidikan.
2)   Fungsi Kontrol Sosial
Durheim menjelaskan bahwa petididikan moral dapat dipergunakan untuk menahan atau mengurangi sifat-sifat egoisme pada anak-anak menjadi pribadi yang merupakan bagian masyarakat yang integral di mana anak harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial[6].
Sekolah berfungsi untuk mempersatukan nilai-nilai dan pandangan hidup etnik yang beraneka ragam menjadi satu pandangan yang dapat diterima seluruh etnik. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sekolah berfungsi sebagai alat pemersatu dan segala aliran dan pandangan hidup yang dianut oleh para siswa. Sebagai contoh sekolah di Indonesia, sekolah harus menanamkan nilai-nilai Pancasila yang dianut oleh bangsa dan negara Indonesia kepada anak-anak di sekolah.

3)   Fungsi Pelestarisn Budaya Masyarakat
Sekolah di samping mempunyai tugas untuk mempersatukan budaya-budaya etnik yang beraneka ragam juga harus melestanikan nilai-nilai budaya daerah yang masih layak dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekerti dan suatu upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah dan sebagainya. Fungsi sekolah berkaitan dengan konservasi nilai-nilai budaya daerah ini memiliki dua fungsi  yaitu pertama sekolah digunakan sebagai salah satu lembaga masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional masyarakat dari suatu masyarakat pada suatu daerah tertentu umpama sekolah di Jawa Tengah, digunakan untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Jawa Tengah, sekolah di Jawa Barat untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Sunda, sekolah di Sumatera Barat untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Minangkabau dan sebagainya dan kedua sekolah mempunyai tugas untuk mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa dengan mempersatukan nilai-nilai yang ada yang beragam demi kepentingan nasional. 
Untuk memenuhi dua tuntutan itu maka perlu disusun kurikulum yang baku yang berlaku untuk semua daerah dan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi dan nilai-nilai daerah tertentu. Oleh karena itu sekolah harus menanamkan nilai-nilai yang dapat menjadikan anak mencintai daerahnya dan mencintai bangsa dan tanah airnya.

4)   Fungsi pendidikan dan perubahan sosial
Pendidikan mempunyai fungsi untuk mengadakan perubahan sosial mempunyai fungsi :
1.     Melakukan reproduksi budaya
2.     Difusi budaya
3.     Mengembangkan analisis kultural terhadap kelembagaan-kelembagaan tradisional
4.     Melakukan perubahan-perubahan atau modifikasi tingkat ekonomi sosial tradisional
5.     Melakukan perubahan-perubahan yang lebih mendasar terhadap institusi-institusi tradisional yang telah ketinggalan.
Fungsi pendidikan dalam perubahan sosial dalam rangka meningkatkan kemampuan analisis kritis berperan untuk menanamkan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai baru tentang cara berpikir manusia. Pendidikan dalam era abad modern telah berhasil menciptakan generasi baru dengan daya kreasi dan kemampuan berpikir kritis, sikap tidak mudah menyerah pada situasi yang ada dan diganti dengan sikap yang tanggap terhadap perubahan. Cara-cara berpikir dan sikap-sikap tersebut akan melepaskan diri dari ketergantungan dan kebiasaan berlindung pada orang lain, terutama pada mereka yang berkuasa.
Pendidikan semacam itu telah berhasil membuka mata masyarakat terutama didaerah pedesaan dalam penerapan teknologi maju dan penyebaran penemuan baru lainnya.
Pengaruh dan upaya pengembangan berpikir kritis dapat memberikan modifikasi (perubahan) hierarki sosial ekonomi. Oleh karena itu pengembangan berpikir knitis bukan saja efektif dalam pengembangan pnibadi seperti sikap berpikir kritis, juga berpengaruh terhadap penghargaan masyarakat akan nilai-nilai manusiawi, perjuangan ke arah persamaan hak-hak baik politik, sosial maupun ekonomi. Bila dalam masyarakat tradisional lembaga-lembaga ekonomi dan sosial didominasi oleh kaum bangsawan dan golongan elite yang berkuasa, maka dengan semakin pesatnya proses modernisasi tatanan-tatanan sosial ekonomi dan politik tersebut diatur dengan pertimbangan dan penalaran-penalaran yang rasional. Oleh karena itu timbullah lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik yang berasaskan keadilan, pemerataan dan persamaan. Adanya strata sosial dapat terjadi sepanjang diperoleh melalui cara-cara objektif dan keterbukaan, misalnya dalam bentuk mobilitas vertikal yang kompetitif.

5)   Fungsi Sekolah dalam Masyarakat 
Sekolah bukan satu-satunya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tetapi masih ada lembaga-lembaga lain yang juga menyelenggarakan pendidikan. Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan mempunyai dua fungsi yaitu
 (1) sebagai partner masyarakat dan
 (2) sebagai penghasil tenaga kerja
Sekolah sebagai partner masyarakat akan dipengaruhi oleh corak pengalaman seseorang di dalam lingkungan masyarakat. Sekolah juga berkepentingan terhadap perubahan lingkungan seseorang di dalam masyarakat. Perubahan lingkungan itu antara lain dapat dilakukan melalui fungsi layanan bimbingan, penyediaan forum komunikasi antara sekolah dengan lembaga sosial lain dalam masyarakat. Sebagai produser kebutuhan pendidikan masyarakat sekolah dan masyarakat memiliki ikatan hubungan rasional di antara keduanya. Pertama, adanya kesesuaian antara fungsi pendidikan yang dimainkan oleh sekolah dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Kedua, ketepatan sasaran atau target pendidikan yang ditangani oleh lembaga persekolahan akan ditentukan pula o!eh kejelasan perumusan kontrak antara sekolah selaku pelayan dengan masyarakat selaku pemesan. Ketiga, keberhasilan penunaian fungsi sekolah sebagai layanan pesanan masyarakat sebagian akan dipengaruhi oleh ikatan objektif di antara keduanya. Ikatan objektif ini dapat berupa perhatian, penghargaan dan tunjangan tertentu seperti dana, fasilitas dan jaminan objektif lainnya yang memberikan makna penting eksistensi dan produk sekolahan.

b.   Siklus Belajar Individu di Masyarakat
Bagi masyarakat sendiri hakikat pendidikan sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan proses kemajuan hidupnya. Agar masyarakat itu dapat melanjutkan eksistensinya, maka haru diteruskan mengenai nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan dan bentuk tata perilaku lainnya kepada anggota muda yang diharapkan akan dimiliki oleh setiap anggota. Setiap masyarakat berupaya meneruskan kebudayaannya dengan proses adaptasi tertentu sesuai corak masing-masing periode jaman kepada generasi muda melalui pendidikan, secara khusus melalui interaksi sosial. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi. Dalam pengertian tersebut, pendidikan sudah dimulai semenjak seorang individu pertama kali berinteraksi dengan lingkungan eksternal di luar dirinya, yakni keluarga. Seorang bayi yang baru lahir tentunya hidup dalam keadaan yang tidak berdaya sama sekali. Menyadari hal demikian sang ibu berupaya memberikan segala bentuk  curahan kasih sayang dan buaian cinta kasih melalui air susunya, perawatan yang lembut serta gendongan yang begitu mesra kepada si bayi. Begitulah proses tersebut berlangsung selama si bayi masih tetap memerlukan pertolongan intensif dari manusia lain. Sampai pada umur lima tahun bayi itu tumbuh dan berkembang dengan sehat di dalam mahligai cinta kasih perpaduan sepasang manusia yang menjadi orang tuanya.
Dari sini bisa kita sadari selain anggota keluarga baru itu belajar mengetahui, mempelajari serta melakukan berbagai reaksi terhadap stimulus dari dunia barunya maka bisa kita cermati pula bahwa sang bayi juga memahami esensi nilai-nilai kemanusiaan dari keluarganya dalam bentuk gerak tubuh, belajar berbicara, tertawa serta semua tindak tanduk yang menggambarkan bahwa jiwa raganya telah terpaut erat oleh belaian kasih sayang manusia dewasa.
Ilustrasi di atas hanyalah sekelumit kecil dari siklus belajar individu di dalam masyarakat. Proses tersebut berlangsung pula ketika kita menjadi manusia dewasa. Apabila kita memenuhi kewajiban sebagai saudara laki-laki, suami atau warga negara serta menjalankan hal-hal lain yang tertanam kuat dalam benak kesadaran kita, itu berarti kita melakukan tugas yang sudah ditentukan secara eksternal oleh hukum-hukum kodrat sosial (droit) dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang begitu alamiah dari lingkungan sosial. Kewajiban itu muncul bukan hasil dari proses pemaksaan eksternal yang mekanistis melainkan selalu diikuti oleh gejala resiprositas individu dengan lingkungan luarnya sehingga pada tahap akhirnya masyarakat telah menghasilkan ribuan atau bahkan jutaan manusia yang tunduk lahir batin dengan ketentuan-ketentuan kolektif (Abdullah dan Van der Leeden, 1986). Selain itu, dimensi sejarah juga berbicara serupa. Ratusan tahun silam pendidikan berjalan beriringan dengan struktur dan kebutuhan sosial masyarakat setempat. Bagi masyarakat sederhana yang belum mengenal tulisan maka para pemuda memperoleh tranformasi pengetahuan lewat media komunikasi lisan yang berbentuk dongeng, cerita-cerita dari orang tua mereka. Selain itu, pada siang hari pemuda-pemuda ini harus selalu sigap dan tanggap mempelajari, mencermati dan belajar mengaplikasikan teknik-teknik mencari nafkah yang dikembangkan oleh para orang tua baik itu menangkap ikan, memanah, beternak, berburu dan sebagainya (Purbakawatja dkk., 1955). Dalam cerita-cerita lisan itu tersirat pula adat dan agama, cara bekerja dan cara bersosialisasi yang berkembang di masyarakatnya. Tidak mengherankan apabila cerita yang sudah turun temurun diwariskan itu dianggap sebagai sesuatu yang bernilai suci. Sejarah, adat istiadat, norma-norma bahkan cara menangkap ikan atau berburu tidak hanya dipandang sebagai hasil pekerjaan manusia semata, tetapi memiliki makna sakral yang patut disyukuri dengan beberapa persembahan serta upacara-upacara ritual. Begitulah perjalanan pendidikan anak manusia telah berlangsung organis sesuai dengan iklim sosialnya.

c.    Masyarakat sebagai salah satu Lingkungan Pendidikan
Sebagai salah satu lingkungan terjadinya kegiatan pendidikan, masyarakat mempunyai pengaruh yang besar terhadap berlangsungnya segala kegiatan yang menyangkut masalah pendidikan. Telah kita ketahui bersama, bahwa setiap masyarakat dimanapun tempatnya tentu memiliki ciri-ciri khas yang berbeda-beda dengan yang dimiliki oleh masyarakat lain. Tiga hal yang sangat erat hubungannya dengan kegiatan pendidikan dimanapun pendidikan itu dilaksanakan, diantaranya yaitu :
1.   Nilai-nilai sosio budaya bangsa
Masalah pendidikan tidak akan terlepas dari nilai-nilai kebudayaan yang dijunjung tinggi oleh semua lapisan masyarakat.  Nilai-nilai itu senantiasa berkembang dan mengalami perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat harus diikuti oleh pendidikan, agar pendidikan itu tidak ketinggalan zaman. Dalam kegiatan hidup sehari-hari nilai-nilai sosial harus dijabarkan dalam bentuk norma-norma atau aturan-aturan hidup bermasyarakat, sehingga mudah difahami dan diikuti oleh segenap lapisan masyarakat. Dan setiap masyarakat mempunyai nilai yang mungkin berbeda satu dengan yang lainnya. Seperti contoh, bagi orang barat memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri dianggap sesuatu hal yang biasa saja. Tetapi berbeda dengan apa yang dilakukan dimasyarakat timur, khususnya di indonesia. Walaupun terdapat perbedaan disana-sini, tetapi pada hakikatnya terdapat persamaan yang bersifat universal yaitu, bahwa aturan-aturan tau norma hidup itu dianut demi kebaikan.

2.   Kesadaran Aspirasi Pandangan Hidup, Cita Nasional Tanggung jawab pendidikan
Adanya kesadaran terhadap semua hal merupakan kunci pokok dari keberhasilan usaha mencapai tujuan. Secara biologis, tanpa adanya kesadaran orang akan berbuat tanpa arah yang dituju. Pedoman kearah mana yang akan kita tuju itu disebut pandangan hidup. Bangsa atau negara lain masing-masing memiliki pandangan hidup yang berbeda. Jika dalam suatu bangsa tidak memiliki pandangan hidup, maka dalam mencapai tujuan atau cita-citanya akan mendapatkan berbagai macam tantangan. Oleh karena itu kesadaran terhadap pandangan hidup dirasa sangat penting. Maka pandangan hidup harus disampaikan atau diajarkan kepada generasi muda untuk meneruskan perjuangan mencapai cita-cita nasional. Hal itu dilakukan dengan memasukkan pendidikan moral pancasila sebagai salah satu bidang study yang harusdiberikan kepada anak didik.
Disamping pandangan hidup, masalah berikutnya yang sangat penting untuk dibahas adalah cita-cita nasional. Cita-cita merupakan sesuatu yang masih ada dalam angan-angan atau masih abstrak. Bagi bangsa Indonesia, cita-cita nasional adalah adanya masyarakat indonesia yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Wacana diatas memang terlihat mudah, namun jika direnungkan dan difikirkan secara mendalam, wacana tentang cita-cita nasional diatas memerlukan perjuangan, usaha keras dan waktu yang lama. Cita-cita nasional juga merupakan tujuan pembangunan nasional yang dalam GBHN dirumuskan sebagai berikut :
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan pancasila didalam wadah NKRI yang merdeka, berdaulat dan bersatu, dalam suasana prkehidupan Bangsa yang aman, tentram, tertib, dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai (8 : 12)
Untuk mewujudkan tujuan pembangunan diatas tentu memerlukan waktu yang lama. Jika kita membandingkan gambaran diatas dengan keadaan sekarang, maka dapat disimpulkan bahwa kita masih jauh dari apa yang kita cita-citakan. Walaupun demikian, yang terpenting adalah, bahwa kita harus berusaha semaksimal mungkin agar tujuan tersebut dapat kita capai. Salah satu usahanya adalah menjadikan manusia-manusianya sebagai pelaku pembangunan dan perbaikan mutu pendidikan.

3.   Dinamika Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Ekonomi
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa pendidikan harus dapat mengikuti perkembangan masyarakat. Perkembangan masyarakat itu sejalan pula dengan perkembangan ilmu pengetshuan. Perkembangan ilmu pengetahuan menyebabkan perkembangan teknologi, dan perkembangan teknologi menyebabkan perkembangan dibidang ekonomi.
Dalam menanggapi kemajuan IPTEK, tugas pendidikan yang bersifat normatif perlu dilaksanakan. Seperti, pendidikan agama, pendidikan moral pancasila dan pendidikan ilmu pengetahuan sosial. Hal itu dilakukan untuk mencegah penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjurus pada akibat-akibat negatif . Pengetahuan kognitif dan ketrampilan untuk dapat melaksanakan pengetahuan yang telah dimiliki harus juga ditingkatkan, agar anak didik dapat segera terjun ke masyarakat dengan bekal yang memadai dan mempergunak kemajuan IPTEK dengan baik.  

Tidak ada komentar: